Praktik Riba Dalam Mu'amalah

 

ABSTRAK

Manusia selalu berhubungan dengan sesama manusia lain untuk memenuhi segala kebutuhannya melalui interaksi yang bernama mu’amalah. Kegiatan mu’amalah ini telah diatur oleh syari’at islam baik didalam AL-Qur’an maupun Hadits. Tulisan ini akan membahas tentang hukum riba menurut syari’at islam serta mudharatnya bagi pelaku riba. Metode penelitian ini lebih menekankan pada metode kualitatif, yakni penelitian pendekatan kepustakaan dengan menggali informasi dari buku-buku referensi yang terpecaya. Setelah melakukan penelitian ini, terungkap bahwa riba dilarang oleh syari’at islam karena terdapat kemudharatan yang akan terjadi jikalau kita melakukan larangan Allah tersebut. Praktik riba terdapat ragam jenis yang dilakukan oleh manusia serta kemudharatan yang akan timbul bagi pelaku riba dengan berbagai cobaan dan siksaan.

 

Kata Kunci: Praktik Riba, Mu’amalah, Mudharat


Manusia selalu melakukan interaksi dengan sesama manusia lainnya dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan manusia tersebut akan terpenuhi dengan adanya interaksi yang dikenal dengan istilah mu’amalah.

Mu’amalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan seperti jual beli,sewa menyewa,upah mengupah, pinjam meminjam, dan usaha lainnya (Afifah,2019:1). Pada hakikatnya, mu’amalah ini telah diatur sedemikian rupa dalam sumber syariat islam, yaitu alqur’an dan hadits. Namun, dalam implementasi sehari-hari banyak kegiatan mu’amalah yang dilakukan oleh umat manusia melenceng dari syariat sehingga banyak perkara-perkara yang bertentangan dengan syariat terjadi dalam mu’amalah, salah satu diantaranya adalah praktik riba.

Praktik riba ini merupakan kasus yang sangat klasik terjadi dalam kehidupan ini. Dikatakan demikian karena praktik riba ini telah ada sejak ribuan tahun yang lalu walaupun hal tersebut telah diharamkan oleh ajaran-ajaran agama samawi (Marthon,2001:156). Praktik riba ini sangat lazim terjadi dalam interaksi mu’amalah terutama dalam transaksi utang piutang maupun jual beli. Meskipun syariat telah melarang, manusia tetap melakukannya demi memenuhi keinginan dan nafsu duniawinya tanpa harus mempertimbangkan kemashlahatan daripada kemudharatan yang akan timbul nantinya.

Telinga kita pasti tidak asing lagi mendengar istilah riba. Riba merupakan istilah yang berasal dari bahasa arab,yang menurut bahasa berarti lebihatau tambahan. Sedangkan menurut syara’, riba adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’ atau terlambat menerimanya (Afifah,2019:9).

Para pengikut mazhab empat masing-masing memiliki perspektif yang berbeda tentang defenisi riba. Defenisi dari masing-masing mazhab adalah sebagai berikut :

          a.    Hambaliyah

Riba merupakan setiap keunggulan tanpa terdapat imbalan pada barang tertentu. Barang tertentu tersebut ialah yang bisa ditukar atau ditimbang degan jumlah yang berbeda. Tindakan seperti inilah yang dinamakan riba selama dilaksanakan dengan tidak kontan.

b.  Syafi’iyah

Riba merupakan transaksi dengan imbalan tertentu yangtidak diketahui keserupaan takarannya maupun ukurannya waktu dilaksanakan transaksi atau dengan penundaan masa penyerahan kedua barang yang diperlukan salah satunya.

c.    Malikiyah

Riba hampir sama dengan defenisi Mazhab Syafi’i, namun bertolak belakang dengan illat nya. Berdasarkan keterangan dari mereka illatnya merupakan transaksi tidak kontan pada bahan makanan yang tidak tahan lama. 

d.     Hanafiyah

Riba merupakan setiap keunggulan tanpa adanya imbalan pada takaran dan timbangan yang dilaksanakan antara pembeli dan penjual didalam tukar menukar ( Hasan, 2018: 11).

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian riba adalah suatu tambahan yang terjadi dalam transaksi jual beli atau pinjam meminjam tanpa adanya kesepakatan yang pasti diantara kedua belah pihak yang saling melakukan interaksi.

Islam secara tegas telah melarang manusia terutama mukmin untuk tidak melakukan praktik riba karena banyaknya kemudharatan yang akan timbul daripada kemashlahatan bagi diri sendiri terutama bagi orang lain. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran /3:130 yang artinya:

 “ Wahai orang-orang beriman ! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-lipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah agar kamu beruntung.”

QS. Al-Baqarah /2:275 Allah juga berfirman yang artinya :

          “ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Kedua ayat diatas  Allah SWT dengan tegas telah melarang umat islam terutama mukmin untuk tidak melakukan serta memakan riba, karena dengan adanya riba, akan hilang rasa kasih sayang antara orang kaya dengan orang miskin sehingga timbul jurang pemisah antara orang kaya dengan orang miskin. Padahal islam telah menanamkan rasa kasih sayang diantara mereka melalui ibadah mu’amalah yang telah diperintahkan syariat seperti shadaqah, infaq, dan zakat. Selain itu, riba merupakan perbuatan umat jahiliyah yang mana mereka memberi kesempatan bagi si kaya mengisap darah si miskin tanpa menimbang perasaan orang miskin tersebut (Hamka,2015:549).

Secara umum riba dibagi menjadi dua bagian, yaitu riba yang berhubungan dengan utang piutang dan riba yang berhubungan dengan jual beli.Pada bagian utang piutang, riba terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

a.    Riba Qard

Riba qard adalah suatu guna atau tingkat keunggulan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang atau muqtarid (Hasan,2018:15).

Misal, Ardi berutang kepada Rubi sebanyak Rp.100.000 dengan syarat Ardi harus mengembalikan uang Rubi sebanyak Rp.110.000. Kelebihan Rp.10.000 itulah yang dinamakan riba qard.

b.    Riba Jahiliyah

Riba jahiliyah adalah utang yang ditunaikan lebih dari pokoknya sebab peminjam tidak dapat membayar utangnya pada masa-masa yang ditentukan (Hasan,2018:15).

Misal, Riko berutang kepada Ari sebanyak Rp.1.000.000 dengan tempo 1 tahun. Setelah satu tahun, Riko datang kepada Ari dan mengatakan bahwa  ia belum mampu membayar utang. Lalu, Ari memberikan syarat kepada Riko untuk bayar tahun depan dengan bayaran 2 kali lipat dari pinjaman pokok nya. Jika tahun depan tidak sanggup lagi, maka tambah 2 kali lipat lagi. Begitu seterusnya.

Pada bagian jual beli, riba terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

a.    Riba Nasi’ah

Yaitu tambahan yang disyaratkan dan diambil oleh kreditor dari debitor sebagai kompensasi penangguhan. Riba jenis ini diharamkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ para imam. Riba nasi’ah ini banyak terjadi pada saat ini terutama dalam jual beli dengan sistem kredit (Sabiq,2013:107).

b.    Riba Fadhl

Yaitu jual beli uang dengan uang atau makanan dengan makanan disertai dengan tambahan. Ini haram berdasarkan As-Sunnah dan Ijma’ karena merupakan sarana menuju riba nasi’ah (Sabiq,2013:107).

Praktik riba kerap terjadi dalam jual beli maupun utang piutang. Praktik riba yang dimaksud adalah kredit dan bunga.Berikut penjelasannya:

a.    Kredit

Kata kredit merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin “credere” yang artinya percaya. Makna kepercayaan yang dimaksud adalah pemberi kredit yakin kepada penerima bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikannya (Karmila,7:2010).

UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan berbunyi“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat di persamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman-pinjaman antarbank dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu dengan jumlah bunga,imbalan atau keuntungan” (Umbaran,78.2018).

Kredit dalam mu’amalah biasanya diterapkan dalam interaksi jual beli yang umumnya dapat dilakukan dengan melibatkan pihak penyedia jasa keuangan. Misalnya A membeli kendaraan ke showroom dengan sistem kredit. Kemudian pihak showroom melibatkan pihak finansial untuk melakukan pembayaran angsuran dengan tambahan yang telah ditentukan oleh pihak finansial.

b.    Bunga

Bunga merupakan istilah yang digunakan dalam dunia ekonomi yang pengertiannya sama dengan riba, yakni kelebihan atau imbalan yang diperoleh dari adanya interaksi mu’amalah. Sistem bunga ini biasanya terjadi dalam utang piutang walaupun dalam sistem kredit juga terjadi sistem bunga. 

Dari penjelasan diatas, pada prinsipnya kredit dan bunga adalah sama, yaitu mengambil keuntungan atau tambahan dari suatu transaksi yang prinsipnya menguntungkan satu pihak tanpa menguntungkan pihak lainnya.

Islam selalu memperhatikan kemashlahatan umatnya. Islam melarang riba karena banyaknya kemudharatan yang akan terjadi ketimbang kemashlahatan bagi seluruh umatnya. Dalam buku yang berjudul “Dosa-Dosa Besar”  yang merupakan terjemahan dari kitab “Al- Kabair” karya Imam Adz-Dzahabi, mengatakan bahwa pemakan harta riba akan dihukum oleh Allah SWT dengan berbagai siksaan. Mudharat riba adalah sebagai berikut :

a.    Perut membusung

Orang yang memakan harta riba akan mengalami siksaan, yakni perutnya yang membusung. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “ Ketika dimi’rajkan, aku mendengar di langit ketujuh, di atas kepalaku suara guntur dan halilintar. Aku lihat juga orang-orang yang perutnya membusung ke depan seprti rumah-rumah yang dipenuhi ular dan kalajengking yang dapat dilihat dari luar perut mereka, Aku pun bertanya, ‘Siapa mereka itu, ya Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Orang-orang itu adalah pemakan riba” (Dzahabi,114:2014).

b.    Dibangkitkan dengan rupa anjing dan babi

Orang yang memakan harta riba kelak akan dibangkitkan dari kubur dengan rupa anjing dan babi.Hal demikian terjadi sebagaimana  diubahnya rupa Ashhabus sabti (orang-orang Yahudi) ketika mereka membuat tipu daya untuk mengeluarkan ikan yang Allah larang mereka untuk ditangkap pada hari Sabtu. Mereka menggali bendungan-bendungan agar ikan masuk kedalamnya pada hari Sabtu sehingga mereka dapat mengambilnya pada hari Ahad. Tatkala mereka melakukan hal tersebut, Allah mengubah rupa mereka dengan rupa kera dan babi (Dzahabi,116:2014).

Perbuatan riba termasuk perbuatan tipu daya sebab tidak ada kesepakatan yang sah dalam interaksi antara dua pihak yang bermu’amalah.

Riba merupakan suatu perbuatan yang diharamkan dalam syariat islam, karena banyak terdapat kemudharatan yang akan timbul daripada kemashlahatan bagi umat. Allah SWT dalam menetapkan syariat selalu menimbang kemashlahatan hambanya, walaupun banyak manusia yang melupakan larangan-Nya tersebut hanya untuk memenuhi kepuasan duniawi, tanpa mereka sadari mudharat yang akan terjadi atas perbuatan yang mereka lakukan.

Berbagai macam bentuk praktik riba yang manusia lakukan dalam bermu’amalah, hanya untuk memperoleh keuntungan pribadi tanpa memikirkan nasib orang lain. Praktik riba pada hakikatnya termasuk perbuatan dzolim yang tentunya hal tersebut sangat dibenci oleh Allah SWT. Yakinlah, segala sesuatu larangan Allah Ta’ala jikalau dilanggar maka pasti akan ada balasan walaupun sedikit harta riba yang kita nikmati.

Umat muslim harus berhati-hati dalam bermu’amalah terutama pada zaman sekarang yang penuh dengan kesesatan dan kekeliruan. Umat islam harus teliti dan jeli dalam melakukan interaksi mu’amalah. Jangan sampai terjebak dalam praktik riba yang prinsipnya menguntungkan sesaat namun merugikan selamanya. Umat islam harus saling mengingatkan satu sama lain agar tidak terjerumus kedalam praktik riba.

 

 

 

Referensi

Afifah, Nur. 2019. Mu’amalah Dalam Islam. Semarang: Mutiara Aksara

Hamka. 2015. Tafsir Al- Azhar. Jakarta: Gema Insani

Hasan, Akhmad Farroh. 2018. Fiqh Mu’amalah dari Klasik hingga Kontemporer. Malang: UIN Maliki Press

Ikhrom, Ahmad. dkk (Penterjemah). 2007. Ekonomi Islam Ditengah Krisis Ekonomi Global. Jakarta: Penerbit Zikrul Hakim

Karmila. 2010. Kredit Bank. Yogyakarta: KTSP

Mujtahid, Umar (Penerjemah). 2014. Dosa – Dosa Besar. Jakarta: Ummul Qura’

Syauqina, Abu. Dkk (Penerjemah). 2013. Fiqih Sunnah Jilid 5. Jakarta: Tinta Abadi Gemilang

Umbara, Joko. dkk. 2018. Bank Umum Konvensional dan Syari’ah. Yogyakarta: KTSP

 

 


 

Komentar

Posting Komentar